Monday, August 22, 2016

Pengamat : Gugatan Ahok Berpotensi di Tolak MK

 JAKARTA -- Permohonan uji materi atas Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang diajukan oleh Basuki Tjahaja Purnama terbilang masih lemah dan berpotensi ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK), demikian Pakar Hukum Tata Negara dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin.
"Permohonan judicial review Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU 10/2016), terkait cuti kampanye yang diajukan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terbilang masih lemah dan berpotensi ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK)," katanya kepada Antara di Jakarta, Senin (22/8).
Said mengatakan berdasarkan jalannya sidang pendahuluan yang berlangsung di MK pada Senin (22/8), sangat jelas tergambar bahwa Permohonan yang diajukan oleh Pak Ahok masih sangat lemah.
"Banyak sekali hal yang dianggap belum jelas, bahkan terkesan membingungkan majelis hakim," kata dia.
Ia menjelaskan, terkait kedudukan hukum atau legal standing, ia menangkap kesan Pak Ahok menggunakan standar ganda dalam Permohonannya. Di satu sisi Ahok mengajukan diri sebagai Pemohon atas nama perorangan warga negara Indonesia, tetapi yang dipersoalkan dalam Permohonannya justru terkait dengan statusnya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Ini bermasalah dari sisi legal standing. Kalau Pak Ahok mengatakan dia ingin menguji UU Pilkada dalam kapasitasnya sebagai perorangan warga negara Indonesia, maka semestinya yang dia uraikan dalam Permohonannya adalah seputar kerugian yang secara aktual atau potensial dia alami sebagai perorangan warga negara Indonesia akibat berlakunya Pasal 70 ayat (3), katanya.
Di sinilah letak perbedaan kedudukan hukum Pak Ahok sebagai perorangan dan sebagai Gubernur atau lembaga negara. "Soal ini saya baca sempat dipertanyakan pula oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna," kata dia.
Terkait praktik standar ganda itu muncul dugaan Pak Ahok boleh jadi sengaja mengajukan legal standing sebagai perorangan warga negara Indonesia guna menghindari tudingan dirinya tidak taat dan tunduk pada ketentuan undang-undang, sebagaimana bunyi sumpah/janji yang pernah diucapkannya saat dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Kedua, terkait materi muatan UU 10/2016 yang hendak diuji. Ahok sendiri tampaknya masih bingung menentukan pasal, ayat, atau bagian mana yang sebetulnya ingin diuji. Kalau hanya ingin menguji soal kewajiban cuti kampanye bagi petahana, semestinya kan disebutkan secara spesifik hanya untuk ketentuan Pasal 70 ayat (3) huruf a saja yang diuji.
"Masalahnya kan, dalam Permohonannya itu Pak Ahok menyebut ketentuan Pasal 70 ayat (3) secara umum, yang berarti meliputi ketentuan huruf a dan huruf b didalamnya. Nah, kalau yang dimohonkan Pak Ahok termasuk Pasal 70 ayat (3) huruf b, itu artinya Pak Ahok juga sedang menguji ketentuan mengenai larangan penggunaan fasilitas jabatan. Soal kedua yang belum jelas ini tadi juga sempat dipertanyakan juga oleh Ketua Majelis Hakim Anwar Usman.
Ketiga, terkait substansi Permohonannya. Ada persoalan mendasar yang keliru dipahami oleh Ahok terkait cuti kampanye. Semestinya, sebelum menyoal cuti kampanye, Ahok terlebih dahulu perlu memahami persoalan kampanye secara utuh.
Titik tekan kampanye itu sebetulnya harus dilihat pada kepentingan pemilih, dan bukan pada kepentingan calon. Kepentingan pemilih itu bernama pendidikan politik. Sebelum menentukan pilihannya, pemilih berhak mengetahui visi, misi, dan program dari calon yang akan dipilihnya.
Dengan mendasari pada visi, misi, dan program calon itulah pemilih dapat memiliki alasan yang logis untuk menentukan pemimpinnya. Disitulah salah satu parameter untuk mengatakan Pilkada diselenggarakan secara berkualitas.
"Jadi kalau ada calon yang sudah berancang-ancang tidak mau ikut kampanye, itu sama artinya calon bersangkutan telah dengan sengaja bermaksud ingin menghilangkan hak sekaligus kesempatan bagi pemilih untuk mendapatkan informasi yang sebanyak-banyaknya tentang calon yang hendak dipilihnya. Kalau itu sampai terjadi, maka tidak ada nilainya lagi Pilkada itu," kata dia.
Oleh sebab itu, keliru jika Ahok beranggapan kampanye adalah hak calon yang bersifat opsional sehingga apabila hak itu tidak digunakan, maka dirinya tidak perlu menjalani cuti selama masa kampanye.(Ro

No comments:

Post a Comment