Wednesday, August 3, 2016

LGBT Dan Global Maksiat



Dr. Henri Shalahuddin, MIRKH

Perilaku seks menyimpang (LGBT) mutlak diharamkan dalam Islam. Karena perilaku inilah, al-Qur'an menyebut kaum Nabi Luth sebagai kaum yang keterlaluan/berlebih-lebihan (musrifun), melampaui batas ('adun), dan jahil. (lihat: QS. 7:81; QS. 26:166; QS. 27:55). Kata "israf" yang membentuk kata "musrifun" berarti perilaku yang melebihi batas kepatutan. Lawan katanya adalah "iqtisad" (sederhana).

Al-Qur'an mengisahkan bahwa kejahatan seksual kaum Nabi Luth adalah jenis kemungkaran yang belum dilakukan umat sebelumnya, sehingga ia disebut "bid'ah al-ma'ashi" (jamak dari maksiat). Keburukan perilaku ini telah melampaui batas akhir suatu tindak kejahatan. Maka tidak berlebihan jika mereka disifati jahil, karena telah menganggap baik sesuatu yang semestinya tercela.

Namun belakangan ini sekelompok aktivis HAM-liberal sangat giat melakukan pembelaan terhadap komunitas LGBT dari segala sisi; baik dari sisi agama, budaya, hukum maupun pendidikan. Dari sisi agama, ada yang merelatifkan keharaman LGBT dan menganggapnya masalah khilafiyah dalam fiqh.

 Tidak disebutkannya jenis hukuman LGBT dalam al-Qur'an dijadikan salah satu dalih memburamkan keharamannya. Jika setiap perbuatan tercela yang tidak didetailkan hukumannya dalam al-Qur'an bisa diragukan, bagaimana dengan memukul orang tua dan menggunjing orang? Siapapun tidak akan menghalalkan perilaku-perilaku di atas gara-gara tidak menemukan jenis hukumannya dalam al-Qur'an. Sangat sulit dipercaya jika ada orang sehat yang mengkampanyekan hak menggunjing orang lain dengan dalih HAM dan kemaslahatan.

Pandangan liberal tentang ide keislaman yang lebih akomodatif dan humanis terhadap kaum homo sejatinya telah merusak ajaran Islam itu sendiri. Sebab bagaimana mungkin bisa dibenarkan logika yang mengatakan: "Yang penting bertakwa dan ber-fastabiqul khairat, apa pun orientasi seksualnya". Sungguh sebuah logika yang dangkal dan terjungkal. Mirip keyakinan sekte Murji'ah, bahwa kemaksiatan tidak mempengaruhi kualitas keimanan.

Belajar dari Thailand

Meskipun Thailand seringkali dipromosikan sebagai surga kaum homo dan toleran terhadap budaya LGBT, tetapi hal itu tidak menghentikan tuntutan aktivis untuk meraih "hak" yang lebih. Penerimaan terhadap LGBT secara nasional justru menggiatkan para aktivis untuk mendesak negara agar menindak masyarakat yang masih diskriminatif dan memandang tabu LGBT, khususnya masyarakat pedesaan dan pihak keluarga. Ada beberapa fakta menarik tentang perkembangan LGBT dalam "Being LGBT in Asia: Thailand Country report" yang dilaporkan UNDP dan USAID (2014). Beberapa fakta tersebut bisa menjadi pelajaran agar tidak merambah ke NKRI. Sebab agenda globalisasi homoseks di Asia didukung dana 8 juta USD (Rp. 107,8 M).

Menikmati kebebasan berekspresi dan didukung konstitusi Thailand yang melegalkan sodomi serta melarang diskriminasi, tidak membuat pegiat LGBT berpuas hati. Bahkan mereka menuntut payung hukum yang khusus melindungi orientasi seksual dan identitas gender. Mereka juga memprotes larangan bagi wanita transgender untuk mengubah identitas jenis kelamin dalam kartu pengenal dan mengkritik hukum perkawinan yang didasari struktur gender dan sistem keluarga tradisional.

Pernyataan kementerian kesehatan pada 29/01/2002 bahwa homoseksual tidak lagi dianggap sebagai penyakit jiwa, membuat aktivis LGBT semakin sibuk melarang orang berbeda, khususnya bagi yang masih menganggap transeksual tidak normal dan tidak sehat secara psikologis (pathologized). Di samping itu mereka juga menuntut penggantian buku teks di sekolah yang menggambarkan LGBT sebagai orientasi seksual yang tidak wajar

Dengan semangat pantang berpuas hati inilah, beberapa "prestasi" telah diraih, diantaranya: (i) Dicabutnya peraturan dari Rajabhat Institute Council (12/1996) yang melarang orang homo mendaftar di semua institut keguruan. Sebab LGBT saat itu masih dianggap menyimpang dan tidak patut menjadi calon guru. (ii)

 Kemenkominfo Thailand telah menarik himbauannya yang meminta semua televisi untuk tidak menampilkan waria dan transeksual (27/4/1999), meskipun himbauan itu demi mencegah anak-anak meniru perilaku LGBT. (iii) Pada tahun 2007 dilakukan definisi ulang arti pemerkosaan yang tidak terbatas laki-laki kepada perempuan, tetapi juga kepada sesama laki-laki. Di USA, pegiat LGBT juga memprotes penggunaan istilah "sodomi" dan menuntut diganti dengan istilah "pemerkosaan" baik korbannya laki-laki maupun perempuan, biar tidak terjadi double standard terhadap LGBT. (iv) Pada tanggal 21/08/2013 Universitas Ramkhamhaeng menjadi universitas pertama yang membolehkan mahasiswa berpakaian menurut jenis kelamin pilihan mereka.

Hingga kini strategi advokasi untuk melawan stigma berbasis agama dan norma yang melekat pada orientasi LGBT terus disusun hingga tercapainya kesetaraan dan terbebasnya dari segala bentuk diskriminasi dan penindasan di segala bidang. Oleh sebab itu, globalisasi LGBT adalah gerakan yang tidak bisa dipandang remeh. Negara tidak boleh mengambil sikap netral di antara hak dan batil dengan dalih HAM, kebebasan dan fakta sosial. Sebab tidak semua fakta sosial harus dilestarikan. "Nyatakanlah kebenaran, bukan membenarkan kenyataan", demikian nasehat KH. Hasan Abdullah Sahal.

 Wallahu a'lam wa ahkam. Bangkok, 5/03/2016 {AI}

No comments:

Post a Comment